[Book Review] Mencari Ketidaksempurnaan dalam Novel Eden di Cabaca.id -- Apa yang kalian bayangkan jika mendengar kata Eden? Tempat Adam dan Hawa bertemu? Surga? Dunia langit yang tak pernah kita ketahui karena kita berpijak di bumi? Entahlah. Kadang yang kebayang di kepala saya malah Lia Eden. Tahu gak Lia Eden? Itu lho wanita yang mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril dan ingin menyampaikan kepercayaan baru. Wkwkwk, Indonesia negeriku, orangnya lucu-lucu. Jadi salah fokus kan. XD Anyway, yang mau saya bahas di sini adalah novel Eden karya Kevin Emmanuel Samnofanto yang terbit di Cabaca.
Sebelumnya, saya mau kasih hint kalau novel Eden ini merupakan salah satu novel generasi pertama yang ada di platform baca novel Indonesia tersebut. Artinya, pada waktu itu, memang belum banyak yang masukin naskah ke Cabaca. Apalagi yang genrenya fantasi. Oleh sebab itu, bisa dibilang, standar penilaian naskah masuk belum terlalu tinggi. Gak seperti sekarang. Jadi, asalkan kalian sedikit aja ngeh tentang konsep cerita dan berani masukin, peluang diterimanya lebih besar. Kalau masukinnya sekarang-sekarang, ya, entahlah. *songong* *sekali-sekali* *biar gak penulis doang yang bisa songong*
Eden berkisah tentang Anima, yang disebutkan sebagai manusia biasa, yang berusaha menggapai Eden. Apa itu Eden? Katanya sih, pengabul keinginan. Karena itulah, Eden ini bisa jadi pemicu keributan dan jadi bahan rebutan. Yang digambarkan dalam bab 1 sih, begini:
bab 1 novel Eden |
Gimana kalau kalian jadi orang pertama yang menginjakkan kaki di Eden? Kebayang? Apakah rasanya akan sama seperti Neil Amstrong yang menginjakkan kaki di bulan? Lalu, keinginan macam apa yang bakal kalian harapkan terkabul? Mungkin keinginan macam ini:
Oke, salah fokus lagi. Next.
Masih di bab 1 juga, Anima ini mendadak (iye, menurut gue mendadak kayak ketiban duren gitu) dinobatkan menjadi Crystalian. Apa itu Crystalian? Di bab pertama masih teka-teki. Sebagai pembaca, saya berharap mendapatkan jawaban atau minimal sebuah narasi tentang Crystalian. Misal, tentang mereka ini ras apa dan bagaimana, kekuatan apa yang mereka punya, syarat atau apa tolak ukur seorang manusia bisa disebut sebagai Crystalian (cuma dengan dapat kalung doang atau ada keturunan/gennya), apa misi mereka, siapa lawannya, dan seterusnya. Di bab-bab setelahnya bakal ada sih penjelasannya, walaupun, ehm, agak berbeda dari ekspektasi saya pribadi.
Segitu dulu sedikit pengungkapan plot novel ini. Saya takut ini jadi spoiler. Yang penasaran, boleh baca novel ini di Cabaca.id. GRATIS kok asal tahu cara mengumpulkan kerang di Cabaca. Kalau mau dibayarin kerangnya, kontak penulisnya juga boleh. Ini Facebook-nya. Doi dermawan, murah hati, dan banyak Baca Juga: [Book Review] Ketika Sang Kematian Diusik dalam Novel Pesan di Cabaca
Yang Tidak Sempurna dari Novel Eden
Kesempurnaan adalah dosa. Itu tak dapat dipungkiri lagi.
Sesuai dengan kalimat yang terkutip pada bab 2 novel ini, karena yang sempurna itu gak ada, atau malah mengandung 'dosa', saya mau kasih review jujur soal novel Eden yang ada di Cabaca. Kalau melihat uraian saya sebelumnya, sesungguhnya premis yang ditawarkan dalam Eden cukup menarik. Namun, eksekusi, di mana pun itu, ternyata tidak pernah mudah. Apalagi kalau genrenya fantasi.
Selain itu, penulis bisa berkata karyanya sempurna, luar biasa, rapi, tetapi ketika suatu karya telah terbit dan rilis ke publik, maka pengarang dianggap sudah mati. Ini gagasannya Roland Barthes ya, bukan gagasan saya. Kalau mau tahu lebih, silakan baca The Death of Author
1. Narasi dan Kepentingannya Membangun Mood
Soal salah ketik/typo dan Ejaan Bahasa Indonesia, saya gak mau mengomentari. Saya percayakan pada penulis dan tim editor dari penerbit. Semakin banyak belajar, akan semakin mudah menerapkannya saat menulis. Akan tetapi, tulisan yang 'bersih dari salah ketik' apakah menjamin pembacanya dapat menikmati bahkan 'turut mengalami' hal yang terjadi pada karakter utamanya?Apakah narasi yang baik adalah narasi yang di dalamnya tidak mengandung typo dan sesuai ejaan saja?
Jawabannya, tidak.
Narasi selalu dinamis. Di satu waktu, narasi akan lugas bercerita tentang tempat atau waktu kejadian. Di lain waktu, narasi menjadi kendaraan penulis untuk menyelipkan tension, bahkan perasaan setiap karakter utamanya, seremeh temeh apa pun itu.
Nah, narasi yang ada dalam cerita ini terasa seperti hanya menjabarkan adegan demi adegan. Tidak ada puncak ketegangan yang membuat saya deg-degan. Mood-nya cenderung datar. Selain itu, tidak ada perasaan membenci Ruvan saat baca ini (padahal itu saya harapkan saat baca cerita yang mengandung permusuhan dan pertentangan).
Jangankan narasi yang memenuhi fungsi membangun mood, narasi yang berkaitan dengan latar tempat pun hanya sebatas ini.
Tidak ada ikon kota Kendari yang muncul di sini. Tidak terasa kental dan cenderung gak berguna. Boleh dibilang, kalau cerita ini ditulis dengan latar somewhere we don't know pun, gak akan mengganggu cerita. So, what's the point to write that?
2. Karakterisasi yang Terasa Samar-Samar
Tokoh yang ada dalam novel ini bukan cuma Anima Allefren dan Ruvan Babylonia (seperti yang terlihat di bab 1), tetapi juga ada:a. Lionar Allefren
b. Leon Allefren
c. Levisia Allefren
d. Nita Allefren
e. Dewa-dewa
f. manusia kucing-Mey
g. mbuh sopo neh, isih akeh
Banyak ya? Kagak usah dihafalin, gak muncul di soal USBN kok.
Karakter-karakter muncul semua, banyak, tetapi heboh sendiri. Semuanya dianggap penting dan akhirnya tidak memunculkan satu 'jagoan'. Selain itu, sepengamatan saya, penulis kurang lihai dalam hal karakterisasi. Sifat-sifat antara satu tokoh dan tokoh lain terasa samar perbedaannya. Seharusnya, item pembeda antara satu tokoh dan tokoh lainnya bukan hanya dari tampilan fisik (warna rambut, warna mata, pakaian, dst), tetapi juga muncul dari beberapa hal yang fundamental. Sebutlah ideologi/pandangan terhadap sesuatu, cara menyikapi masalah, sampai ke gerak-gerik dan caranya berbicara.
Beberapa karakter malah membawa hal-hal yang berpotensi membuat bingung pembaca karena dicampurkan dari legenda yang berbeda, tetapi tidak dibangun benang merahnya sejak awal. Contohnya:
sebuah blunder world building |
Wah, banyak juga ya? Gak nyangka review-nya bakal sepanjang ini, wkwkwk. Intinya, plotting saja tidak pernah cukup. Ada banyak unsur pembangun dalam cerita. Sekali seorang penulis terjun dalam pembuatan cerita, ia harus memahami kesemua unsur tersebut.
Baca Juga: [Book Review] Berpetualang bersama Aliran Waktu dalam Novel Time Aussicht di Cabaca
Kalimat Mutiara
Saya gak mau berlaku tak adil. Karenanya, walaupun tulisan ini banyak mengandung kritik dan ketidakpahaman saya terhadap jalan ceritanya, saya masih menemukan sisi baiknya. Contohnya, saya menemukan beberapa kalimat mutiara yang cocok buat dijadiin status Facebook atau di-insta story-in.Nih, saya tulisin list-nya.
- Jika saja keajaiban dan mukjizat itu masih ada, aku pasti akan berhenti mencari cara untuk mati.
- Kesempurnaan adalah dosa. Itu tak dapat dipungkiri lagi.
- Menjadi seseorang yang istimewa di mata manusia yang lainnya, itu terdengar sangat menyenangkan.
- Saat seseorang pernah melihat rahasia-rahasia yang disembunyikan oleh dunia ini, maka saat itu pula dia sadar bahwa ada yang lebih gelap dibandingkan malam, dan lebih mengerikan dibandingkan maut.
- Tak ada yang benar-benar binasa, juga tak ada yang benar-benar hilang. Dan yang paling pasti, tentu saja tak ada yang benar-benar mati.
- Dosa memiliki banyak arti hingga kadang aku sampai bingung untuk memandangnya seperti apa...
- Siapa bilang amarah tidak dapat menyelesaikan apa-apa? Malahan, terkadang, itu sangat membantu.
Dilihat dari daftar kalimat mutiara di atas, mungkin penulisnya perlu mempertimbangkan diri untuk jadi filsuf? Atau, nulis prosa atau puisi? Atau nulis genre lain yang lebih sesuai. Who knows kan. Mana tahu lebih mengakomodasi kemampuan nulisnya.
Kurang lebih begitulah ulasan saya terhadap novel Eden, dengan harapan semoga karya Kevin ke depannya lebih baik. Oya, kamu bisa baca novel dengan berbagai genre gratis di Cabaca.id.
Baca novel Indonesia di Cabaca.id, unduh aplikasinya di Play Store yuk!
0 Komentar